Orang tua di era digital saat ini sedang menghadapi tantangan yang besar. Mereka menghadapi sebuah zaman disrupsi informasi dimana informasi datang secara tak terbendung. Namun disatu sisi, mereka perlu waktu untuk melakukan adaptasi pengasuhan.

Periode Sebelumnya

Orang tua zaman dahulu mendapatkan pendidikan dan informasi secara turun temurun dari ayah ibunya, kakek neneknya dan generasi sebelumnya melalui pitutur, kisah dan nasehat yang diturunkan secara lisan. Istilah “ngaji kuping” masih sering kita dengar hingga hari ini yaitu belajar dengan cara mendengar. Ceramah menjadi metode yang paling umum dan paling popuker dilakukan oleh generasi terdahulu.

Waktu berlalu dan zaman berubah, masyarakat mulai mendapatkan pendidikan formal, mulailah muncul kewajiban baca tulis di sekolah, bahkan sekitar sepuluh tahun kebelakang, pemerintah juga gencar mendorong program pengentasan buta aksara dengan berbagai program yang  salah satunya adalah program paket kesetaraan dan menggalakkan taman-taman bacaan.  Masyarakat mulai melakukan dengan kebiasaan baru yaitu baca dan tulis. Orang-orang sudah banyak menulis buku, mendokumentasikan berbagai kegiatan dalam bentuk teks, korespondensi (surat-menyurat), dan kegiatan lain yang berbasis baca tulis menggunakan alat-alat tulis. Teks (buku, majalah, koran, dsb) dapat dikatakan sebagai pusat rujukan informasi dalam periode ini. Siapa yang paling banyak membaca dialah yang menguasai informasi dan pengetahuan, sehingga kita kenal juga dengan istilah buku adalah jendela ilmu.

Era Digital

Waktu berputar, masa berganti. Datanglah teknologi bernama komputer dan internet yang memperbaharui berbagai cara. Kemampuan dasar membaca menjadi sangat penting di zaman ini karena teks menjadi bagian penting dalam menyajikan informasi. Namun, tidak hanya itu ! Di zaman ini, diperlukan kemampuan berpikir tingkat tinggi lebih dari hanya sekedar membaca teks, namun juga dituntut kemampuan membaca gambar, membaca kode, membaca situasi dan peristiwa, membaca keuangan, melakukan analisa, menyaring informasi, menggunakan teknologi dan berderet panjang keterampilan berpikir tingkat tinggi agar dapat bertahan di zaman serba digital ini. Lantas, bagaimana orang tua dapat beradaptasi dengan kecepatan kemajuan sekarang?

Generasi awal yang hidup di awal era digitalisasi adalah generasi yang lahir di tahun 60an, bukan berarti generasi sebelumnya sudah tidak ada, namun generasi baby boomers adalah generasi awal yang bersentuhan dengan teknologi digital. Walaupun demikian, generasi native yang betul-betul lahir beriringan dengan teknologi digital adalah generasi yang kita kenal sebagai Millennial. Millennial memiliki cara hidup dan cara berpikir yang sama sekali berbeda dari generasi sebelumnya. Padahal, rata-rata generasi sebelumnya adalah para orang tua mereka. Disinilah terjadi jurang perbedaan generasi yang cukup jauh sehingga banyak menimbulkan persoalan.

Di paragraf awal, kita tahu bahwa generasi terdahulu lebih banyak belajar dengan cara mendengar. Artinya kemampuan auditorinya lebih dominan. Sementara, generasi Millennial kemudian Post-Millennial belajar dengan cara multitasking melalui multimedia. Seluruh indera merupakan reseptor informasi ; audio, visual, motorik, everything! Sehingga informasi yang dapat diserap juga berkali-kali lipat lebih banyak dan lebih cepat dari cara belajar sebelumnya. Disinilah banyak terjadi gap informasi dan miskonsepsi antara anak dengan orang tua dan guru.

Adaptasi Orang Tua

Lantas bagaimana cara menyikapinya ? Memaksakan diri untuk mengikuti kecepatan perubahan teknologi digital pastinya sangat melelahkan bagi orang tua. Sementara, orang tua di era digital juga tidak dapat menahan laju kemampuan anak-anak mereka yang memang lahir sebagai native digital.  Kata kunci adaptasi memang sering didengungkan, namun adaptasi macam apa yang perlu dilakukan orang tua ?

Orang tua belajar sepanjang hayat menjadi sebuah kewajiban. Menerima setiap perubahan dengan lapang dada dan belajar mengembangkan kemampuan multitasking patut dipelajari. Mempelajari kemampuan menyaring informasi mana yang benar dan mana yang hoax. Tidak semua informasi yang diterima dapat ditelan bulat-bulat. Lalu sangat penting untuk membangun pola komunikasi kolaboratif dengan anak. Karena generasi Millennial dan Post-Millennial memiliki kemampuan belajar multitasking dan mampu menerima informasi secara masif, maka mereka dapat melakukan analisa dan berpikir sangat cepat. Orang tua dan guru berperan untuk mengarahkan cara berpikir mereka agar tetap sesuai dengan norma, etika, budaya dan agama. Caranya adalah dengan berdialog, diskusi dan bertukar pikiran, bukan hanya memberikan doktrinasi atau instruksi satu arah. Jadilah teman dan belajarlah berkolaborasi dengan mereka.

Memaksakan diri untuk menguasai semua teknologi baru pastinya melelahkan, namun mampu untuk mengiringi dan menemani langkah anak-anak kita untuk hidup dalam dunia teknologi yang penuh dengan keajaiban dan juga jebakan adalah sebuah keniscayaan. Orang tua di era digital harus mampu memperkuat ikatan emosional dengan anak-anak dan menjadikan keluarga sebagai prioritas adalah kunci utama untuk melindungan keluarga dari disrupsi teknologi.  Happy parenting !

Penulis, Asrilla Noor

Leave a Reply